Rainbow Arch Over Clouds

Jumat, 18 Februari 2011

pelukan hangat wisuda

Malam itu aku duduk di beranda Panti Asuhan Pelita Ibu. Malam ini terasa sangat dingin. Dentingan hujan itu bagaikan melodi piano yang menemaniku menyelesaikan puluhan kertas skripsi ku. Desiran angin pun juga menerpa ku, membuat aku merasa sangat nyaman ditempat itu.
            Namaku Irena Sasmita, kini aku salah satu mahasiswa tingkat akhir disalah satu Universitas Negeri di Bandung, dan Broadcasting adalah jurusanku. Seperti mimpi rasanya anak panti seperti ku ini bisa berkuliah ditempat itu. Pastinya dengan beasiswa, jika tidak mana mungkin aku bisa berkuliah disana.
            “Irena, ini ada teh hangat untuk kamu, uhuuk, uhuuuk!” Ibu Ros, Ibu panti yang selalu mengurusku sejak kecil.
            “Eh iya, iya bu. Terimakasih Ibu, Ibu kenapa? Ibu sakit?” Tanya ku panik ketika aku menyadari Ibu Ros terlihat begitu pucat.
            “Ibu tidak kenapa-kenapa. Gimana skripsi mu nak? Maaf ya nak, ibu tidak bisa membelikan komputer untuk kamu mengetik tugas skripsimu. Uhuuuk, uhuuuuk!!”
            “Ya ampun Ibu, engga apa-apa kok. Irena masih bisa ngetik di rental depan panti. Tenang aja yah Ibu, nanti kalau Irena sudah menjadi sutradara hebat. Pasti akan ada banyak komputer di panti ini untuk adik-adik.” Jawabku sambil menerawang jauh masa depanku.
            Malam itu aku merasa sangat dekat dengan Ibu Ros, banyak hal yang kami bicarakan saat itu. Maklumlah, mungkin karena kesibukanku dalam penulisan skripsi ini aku waktu berkumpul ku dengan Ibu Ros dan adik-adik panti menjadi berkurang. Aku sudah jarang ikut makan malam dan berdoa bersama karena selalu pulang larut malam untuk  mengetik dan mengejar tugas skripsiku di rental,
                “Ren, malam ini kamu tidur sama Ibu yuk.” Ucap Ibu Ros ketika aku hendak beranjak tidur
            “Oh, iya Bu. Balasku.
******
            Sebelum tidur kami masih terus ngobrol ngalur ngidul tentang masa kecilku, masa-masa aku masih sangat manja dengan Ibu Ros. Aku yang selalu minta dibelikan coklat koin ketika aku bisa menjadi peringkat pertama dikelasku, aku yang selalu mengajarkan teman-temanku karena aku dianggap pintar. Oh Tuhan, aku rindu masa kecilku. Kami terus ngobrol berdua, sampai akhirnya aku tertidur di dalam pelukan Ibu Ros..
            Ada beberapa orang tua yang ingin mengadopsi ku, apalagi jika Ibu Ros bilang kalo aku ini anak yang pintar dan selalu juara kelas. Rata-rata mereka, para orang tua ingin mengadopsi ku. Tetapi sejak kecil aku tidak ingin diadopsi. Aku sudah sayang dengan panti ini, aku sangat sayang kepada Bu Ros, dan aku selalu menunggu orangtua kandung ku yang sampai saat ini tak kunjung datang.
            Walaupun Ibu Ros selalu berkata “Ren, jika kamu diadopsi mereka, kamu akan jadi orang sukses, sekolahmu terjamin, hidup mu enak, nanti aka nada banyak mainan dan boneka dirumah.” Tapi tetap, tetap aku bergeming aku tidak ingin di adopsi.
            Aku bisa sampai titik ini, menjadi mahasiswa semua karena beasiswa. Aku bukan seperti orang lain yang bisa sekolah dan kuliah dengan meminta kepada orang tuanya. Yaa Tuhan, jelaslah aku tidak seperti mereka. Aku pun tidak mempunyai orang tua.
            Cita-cita dan mimpiku hanya aku dapat memperbesar panti ini, memberikan fasilitas pendidikan untuk adik-adik panti, dan memberangkatkan Ibu Ros ke tanah suci. Sudah 10 tahun ini Ibu Ros hidup sendiri karena Pak Yogo telah meninggal dunia. Dan mereka tidak mempunyai keturunan, maka mereka membuka panti ini untuk menjadikan kami anak-anak mereka.
******
            “Ibu, Ibu Ros, Adik-adik, Bu, Ibu, Adik-adik!!” Seruku sambil setengah berlari kedalam panti.
            “Iya, iya kenapa kak?”
            “Iya, kenapa Ren?”
            “Kalian tahu? Aku luluuuuuuuss!! Nanti pokoknya kalian harus hadir di acara wisudaku.
******
            “Ren, kamu sudah siap?”
            “Sudah Bbbbb, Ibu kenapa? Ibu pucat!”
            “Tenang aja Ibu nggak apa-apa kok, ayo kita jalan”
            “Oh Tuhan ada apa dengan Ibu Ros? Kenapa ia terlihat pucat? Oh Tuhan tolong lindungi Ibu Ros.” Batinku dalam hati sambil kami berangkat menuju ke acara wisudaku.
******
            “Selamat yah sayang, kamu memang anak Ibu yang paling pintar.”
            Ibu Ros memelukku sangat lama, sangat lama hingga aku hampir terlelap dipelukan itu, pelukan yang hangat, nyaman, dan membuat ku sangat suka berada dipelukan ini. Pelukan dari Ibu kandungku yang tidak pernah aku rasakan, semua terbayar pada pelukan hangat Ibu Ros. Pelukan yang dulu sering aku dapat ketika aku kecil, ketika aku ingin tidur, ketika aku menangis, aku selalu merasakan pelukan ini, rasa nyaman dan hangat pelukan Ibu Ros yang tidak pernah berubah.
            “Agak kanan dikit Bu.” Ucap fotographer yang mengatur foto kami.
            “Yaa, satu, dua, chzzzzz”
            “Lali lagi ya. Satu, dua, chzzz”
            “Ayo sekali lagi. Satu, dua, BRUUUUUUUK!!!
******
            “Dokter bagaimana Ibu saya? Apa ia baik-baik saja? Apa saya boleh masuk Dok?” Tanyaku ketika aku melihat pintu ICU itu terbuka.
            Ibu Ros jatuh dan pingsan pada sesi foto tadi siang di acara wisuda ku. Aku sangat sedih da terpukul atas ini. Dan aku menyesali, seharusnya Ibu tadi dirumah saja, pantas saja tadi Ibu terlihat sangat pucat.
            “Ibu, Ibu, bangun bu, Ini Irene.” Ucapku lirih ditelinga Ibu Ros sambil menahan air mataku
            “Ibu, Ibu dengar Irene kan?” Ucapku lagi sambil memegang tangan Ibu Ros
            Perlahan aku merasakan tanganku berat, Ibu Ros sadar, ia menggenggam tanganku.
            “Ren…..”
            “Bu, Ibu jangan banyak bicara dulu”
            “Ren, terimaksih kamu selama ini telah menemani Ibu dan ayah Yogo. Kamu sudah menjadi anak yang baik, cantik, dan pintar. Ibu bangga sama kamu”
            “Buu, Ibuu………………..”
            “Sekarang Ibu sudah tenang, kamu sudah dewasa, kamu sudah sarjana. Kamu bisa mengatur panti. Maafin Ibu ya Ren, salam juga buat adik-adik, Ibu sayang sama kalian semua”
            “Buuu, IBU, IBUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU”
******
            “Ya Tuhan, mengapa engakau ambil Ibuku? Siapa lagi sekarang yang aku punya Tuhan? Aku sendiri Tuhan!!” Aku menanggis dipojok beranda itu. Tempat aku dan Ibu Ros sering bersama, aku merasa rapuh sampai …………………………….
            “Kak, kakak jangan nangis lagi yah” Meta, adik pantiku datang dan menghapus air mataku.
            “Oh Tuhan, aku lupa. Aku tidak bisa seperti ini. Aku harus semangat, aku tidak boleh sedih, aku harus menggurus panti dan menjaga adik-adik, aku harus mengejar cita-cita ku sebagai sutradara, aku harus membuat Ibu Ros tersenyum disurga, aku harus buat ia bangga, dan aku harus penuhi janjiku kepada Ibu Ros” Aku tersadar dengan adanya Meta yang menghapus air mataku.
******
            “Lighting siap?”
            “Pemain semua udah lengkap?”
            “Itu kamera 2 disiapin juga!”
            “Okay, camera standby, tiga, dua, satu, action


*diangandhi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar