Rainbow Arch Over Clouds

Kamis, 27 Oktober 2011

Sayap

“Ini gambar apa?” tanya lelaki dengan jersey merah disampingku.
“Sayap.” jawabku singkat sambil mengambil gambar itu dari tangan Elang.
“Sayap? Maksudnya?” tanyanya sambil menatapku bingung.
"Sayap malaikat. Kamu percaya malaikat punya sayap?” jawabku.
“Aku nggak percaya.” jawabnya acuh.
“Aku juga nggak percaya kalau malaikat punya sayap, tapi aku yakin Ia punya tangan-tangan lain yang akan menjaga.” Mataku kosong dan menerawang jauh akan hari itu. “Besok setahun sahabatku pergi.”
            Kali ini aku tidak menangis, aku lebih memilih untuk tersenyum di depan Elang. Bukan karena aku mau menjaga image dan berpura-pura tegar, tapi karena aku sudah janji padanya, pada sahabat tercantikku, aku tidak akan menangisinya lagi.
“Kamu merindukannya?” tanya Elang sambil membelai lembut rambutku.
“Sangat, aku sangat merindukannya. Aku menyayanginya.” Jawabku pelan bahkan hampir tak terdengar oleh Elang.
“Tapi kamu percaya Tuhan lebih menyayanginya?”
“Yaaa, aku percaya. Aku percaya Tuhan mempunyai tangan-tangan baik yang akan selalu menjaganya.”
            Aku pergi meninggalkannya, menenangkan diri, dan membayangkan hari Indah bersama gadis cantik berambut indah itu.
            Waktu serasa begitu cepat berlalu, meninggalkan ku dalam kenyataan bahwa hampir setahun sudah ia pergi. Fikiranku menerbangkanku pada hari istimewa itu, ketika aku, ia, dan ketiga sahabatku menikmati hari penuh canda dan kebahagiaan yang menyelimuti.
            Tak ada lagi gadis lincah yang menemaniku, tidak ada lagi rambut indah yang selalu ku irikan, tidak ada lagi cerita-cerita dan canda dalam angkot. Ahhh, seriously, I gonna miss that moment.
            Setahun berlalu sahabat, bayangmu akan selalu ada, kenangan atas mu akan selalu melekat, tersimpan rapih dalam hati, terletak pada tempat terindah dalam hati.
“Ree......” Elang mengetuk kamarku dan membangunkan dari lamunan.
“Gambarmu.” ucapnya lembut.
“Kamu percaya sayap malaikat, dan tangan baik Tuhan akan menjaganya?” tanya ku sambil menatap matanya lekat-lekat.
“Ya, aku percaya! Dan doamu juga akan menemaninya. Ia pasti lagi tersenyum disana. Diatas sana.”
“Tolong datang dalam mimpiku malam ini sahabatku, Sartika.” 

Satu Jam

Satu jam saja
Satu jam yang kuminta
Saat sang fajar mulai muncul dari singgahsananya 
Aku merasa ditampar

Ketika lututku lemas dan tangan ku bergetar melawan kenyataan
Ketika butiran bening tak dapat aku tahan
Ketika tubuh mu diam dalam tidur panjangmu

Satu jam harapanku
Aku merindukan tawa riangmu
Aku merindukan gaya lincahmu
Cukup satu jam saja, aku ingin bertemu

Satu jam impianku
Bercanda dalam bahagiamu
Berjalan dan bercerita bersamamu
Membelai hari dalam hari-hari bersamamu

Satu jam yang kumau
Sebelum mata indah itu tertutup
Sebelum bibir tipis itu mengatup
Sebelum tubuh mungil itu tertidur
Dan sebelum Makasar menyambutmu

Seribu doa ku
Semoga sayap-sayap malaikat dan tangan-tangan baik Tuhan akan menjagamu
Semoga senyummu tetap terpancar
Dan semoga doaku akan selalu menemanimu

Kepada kau sahabat tercinta yang telah di Surga, aku merindukanmu.

Jakarta, 27 Oktober 2011
(Sambi diiringi lagu Satu Jam Saja, by: Lala Karmela)